Shafiyah binti Huyay, Istri Rasulullah yang Keturunan Yahudi
Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab bin Sa’yah bin Amir bin Ubaid bin Kaab bin al-Khazraj bin Habib bin Nadhir bin al-Kham bin Yakhurn, termasuk keturunan Harun bin Imran bin Qahits bin Lawi bin Israel bin Ishaq bin Ibrahim. Ibunya bernama Barrah binti Samaual darin Bani Quraizhah. Shafiyyah dilahirkan sebelas tahun sebelum hijrah, atau dua tahun setelah masa kenabian Muhammad.
Menyakini kebenaran Rasulullah
Shafiyah adalah anak kesayangan bapaknya dan pamannya, sebagaimana dituturkan oleh Shafiyah sendiri, yang dikisahkan oleh Ibnu Ishaq.
“Saya adalah anak kesayangan bapak saya dan paman saya, Abu Yasir. Ketika Rasulullah datang di Yatsrib, beliau turun di Quba’ di kediaman Amru bin Auf. Maka Bapak saya, Huyay bin Akhthab, dan paman saya, Abu Yasir pergi di pagi hari, akan tetapi mereka berdua belum pulang meski matahari sudah kembali ke peraduannya.
Tidak lama kemudian, mereka datang dalam kondisi lelah, malas, dan lemas. Mereka berdua berjalan dengan gontai. Saya menyambut mereka dengan ceria, seperti biasanya. Tapi, demi Allah, tidak seorang pun diantara mereka berdua yang menoleh ke saya, ditambah lagi mereka berdua tampak sedih. Tiba-tiba saya mendengar paman saya, Abu Yasir, berkata kepada bapak saya, Huyay bin Akhthab,
“Apakah itu orangnya?”
“Ya, betul,” jawab ayah saya.
“Apa kamu mengenalnya?” tanya paman.
“Ya,” jawab ayah.
“Bagaimana pendapatmu tentang dia,” kata paman.
“Saya akan memusuhinya selama saya hidup,” kata ayah.
Setelah kejadian itu, Shafiyah mengetahui bahwa Rasulullah berada dalam jalan yang benar. Ternyata selama ini, kaumnya tidak memberitahukan tentang Nabi Muhammad kepada Shafiyah, karena faktor kedengkian dan iri hati, bukan karena Nabi Muhammad salah, setelah ada bukti yang nyata pada diri mereka bahwa Nabi Muhammad adalah utusan akhir zaman.
Huyay bin Akhthab
Huyay bin Akhthab memerangi dan menampakkan permusuhan terhadap Rasulullah SAW, meskipun dia tahu bahwa Rasulullah merupakan nabi akhir zaman, sebagaimana termaktub dalam kitab Taurat.
Sifat dusta, tipu muslihat, dan pengecut ayahnya sudah tampak di mata Shafiyyah dalam banyak peristiwa. Di antara yang menjadi perhatian Shafiyyah adalah sikap Huyay terhadap kaumnya sendiri, Yahudi Bani Qurayzhah. Ketika itu, Huyay berjanji untuk mendukung dan memberikan pertolongan kepada mereka jika mereka melepaskan perjanjian tidak mengkhianati kaum Muslim (Perjanjian Hudaibiyah). Akan tetapi, ketika kaum Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut, Huyay melepaskan tanggung jawab dan tidak menghiraukan mereka lagi.
Hal lain adalah sikapnya terhadap orang-orang Quraisy Mekah. Huyay pergi ke Mekah untuk menghasut kaum Quraisy agar memerangi kaum Muslim dan mereka menyuruhnya mengakui bahwa agama mereka (Quraisy) lebih mulia daripada agama Muhammad, dan Tuhan mereka lebih baik daripada Tuhan Muhammad.
Penaklukan Khaibar
Perang Khandaq telah membuka tabir pengkhianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian yang telah mereka sepakati dengan kaum muslimin (Perjanjian Hudaibiyah). Nabi Muhammad segera menyadari ancaman yang akan menimpa kaum muslimin dengan berpindahnya kaum Yahudi ke Khaibar kemudian membentuk pertahanan yang kuat untuk persiapan menyerang kaum muslimin.
Selanjutnya Babi Muhammad memimpin tentara Islam untuk menaklukkan Khaibar, benteng terkuat dan terakhir kaum Yahudi. Perang berlangsung dahsyat hingga beberapa hari lamanya, dan akhirnya kemenangan ada di tangan umat Islam. Benteng-benteng mereka berhasil dihancurkan, harta benda mereka menjadi harta rampasan perang, dan kaum wanitanya pun menjadi tawanan perang.
Pasukan kaum muslim berhasil mengalahkan benteng pertahanan terakhir suku Yahudi di Khaibar. Huyay bin Akhthab mati terbunuh dalam peperangan itu. Sementara putrinya, Shafiyah yang ditinggal mati suaminya menjadi tawanan.
Masuk Islam dan Menikah dengan Rasulullah
Setelah orang-orang Yahudi kalah, dan bentengnya di Khaibar jatuh ke tangan kaum muslim, Shafiyah menjadi salah satu tawanan perang. Dia masuk dalam bagian pendapatan perang seorang sahabat, Dahiyyah bin Khalifah. Kemudian ada seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah seraya berkata, “Ya Rasulullah, engkau memberikan bagian kepada Dahiyyah, Shafiyah binti Huyay, putri pemimpin Bani Quraizhah dan Bani Nadhir, padahal Shafiyah hanya layak untuk engkau.”
Rasulullah bersabda, “Panggil Dahiyyah bersama Shafiyah.”
Dahiyyah datang membawa Shafiyah. Setelah Rasulullah melihat Shafiyah, beliau berkata kepada Dahiyyah, “Ambillah budak yang lain dari tahanan yang ada.”
Dahiyyah pergi tanpa membawa pulang Shafiyyah, dia memilih tahanan yang lain untuk dijadikan budak. Sementara Rasulullah mempunyai bagian harta perang, yang biasanya dikenal dengan istilah shafi (jarahan perang yang dipilih pemimpin untuk dirinya). Rasulullah bebas dalam memilih, apakah ingin memilih budak laki-laki, budak perempuan, atau kuda, selama belum melebihi seperlima.
Rasulullah memberikan pilihan kepada Shafiyah, apakah ingin dimerdekakan, kemudian akan dikembalikan kepada kaumnya yang masih hidup di Khaibar, ataukah ingin masuk Islam kemudian dinikahi oleh Rasulullah. Shafiyah memilih untuk masuk Islam dan menikah dengan beliau, dengan mas kawin kemerdekaannya.
Pada saat itu, Shafiyah berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, saya memeluk Islam dan saya sudah percaya kepadamu sebelum engkau mengajak saya. Saya sudah sampai pada perjalananmu. Saya tidak punya keperluan kepada orang-orang Yahudi. Saya sudah tidak mempunyai bapak, dan tidak mempunyai saudara yang merdeka. Lalu untuk apa saya kembali kepada kaumku?”
Ungkapan hati Shafiyah ini menunjukkan kebijaksanaan dan kecerdasannya. Shafiyah menjadi salah satu Ummul Mukminin dan itu merupakan kehormatan yang besar.
Wafatnya Shafiyah binti Huyay
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, Shafiyyah tetap komitmen terhadap Islam dan mendukung perjuangan Nabi Muhammad SAW. Ketika terjadi fitnah besar atas kematian Utsman bin Affan, dia berada di barisan Utsman.
Shafiyah banyak meriwayatkan hadits Nabi. Shafiyah wafat tatkala berumur sekitar 50 tahun, ketika masa pemerintahan Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Marwan bin Hakam menshalatinya, kemudian menguburkannya di Baqi’.
Komentar
Posting Komentar