Sejarah Perayaan Tahun Baru Masehi
Sebenarnya apa yang sedang kita rayakan? Adakah dasar kuat yang menjadikan tahun baru masehi menjadi sebuah perayaan? Pertanyaan simple, tetapi kebanyakan dari kita tidak memahami atau belum memahaminya.
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Q.S. Al Israa (17) : 36)
Merujuk pada ayat tersebut, sebagai seorang muslim wajib bagi kita berpikir dan mencari tahu lebih jauh mengenai perayaan tahun baru masehi. Apa sebenarnya dasar dari perayaan tahun baru masehi? Bagaimana sejarahnya, dan berasal dari kaum mana? Hal ini penting kita ketahui, agar kita tidak terjebak pada aktifitas yang sia-sia bahkan berakhir pada kesesatan.
Sejarah tahun baru Masehi 1 Januari
Menurut catatan Encarta Reference Library Premium 2005, orang yang pertama membuat penanggalan kalender Masehi adalah kaisar Romawi yang terkenal bernama Gaisus Julius Caesar. Penanggalan ini dibuat pada 45 SM. Sebelumnya, bangsa Romawi kuno telah memiliki kalender tradisional sejak abad ke-7 sebelum masehi. Namun kalender ini sangat kacau dan mengalami beberapa kali perubahan. Sistem kalendar ini dibuat berdasarkan pengamatan terhadap munculnya bulan dan matahari, dan menempatkan bulan Martius (atau maret pada saat ini) sebagai awal tahunnya.
Kaisar Julius Caesar mengganti kalender tradisional ini dengan Kalender Julian. Urutan bulan menjadi: 1) Januarius, 2) Februarius, 3) Martius, 4) Aprilis, 5) Maius, 6) Iunius, 7) Quintilis, 8) Sextilis, 9) September, 10) October, 11) November, 12) December. Di tahun 44 SM, Julius Caesar mengubah nama bulan “Quintilis” dengan namanya, yaitu “Julius” (Juli). Sementara kaisar berikutnya yaitu Kaisar Augustus, mengganti nama bulan “Sextilis” dengan nama dirinya, yaitu “Agustus”. Sehingga sampai sekarang, bulan- bulan ini yang dipakai, mulai dari junius, Julius, kemudian bulan Agustus.
Perayaan tahun baru Masehi 1 Januari
Di beberapa wilayah dan negera di dunia, bulan Januari merupakan upacara keagamaan. Januarius (Januari) diambil dari nama dewa Romawi “Janus” yaitu dewa bermuka dua, muka menghadap ke depan sebagai simbol msa depan dan muka yang satu lagi menghadap ke belakang sebagai simbol masa lalu. Dewa Janus adalah dewa penjaga gerbang Olympus yang diartikan sebagai gerbang menuju tahun yang baru.
Dewa Janus merupakan sesembahan kaum Pagan Romawi. Kaum Pagan atau dalam bahasa kita disebut kaum kafir penyembah berhala. Ternyata hingga saat ini budaya, ritual, dan upacara keagamaan kaum pagan ini telah merasuk dan mewarnai kehidupan kita tanpa kita sadari, termasuk salah satunya adalah perayaan pada malam tahun baru. Kaum Pagan juga merayakan tahun baru mereka dengan menyalakan kembang api, membuat api unggun dan mengitarinya, memukul lonceng, dan meniup terompet.
Bulan Januari juga ditetapkan setelah Desember, dikarenakan Desember adalah pusat Winter Soltice. Winter Soltice adalah bulan dimana kaum pagan yang merupakan penyembah Matahari merayakan ritual mereka saat musim dingin. Tanggal 1 Januari adalah seminggu setelah pertengahan Winter Soltice, yang merupakan perayaan Paganisme (Penyembah matahari) dan ritual mereka di musim dingin.
Tanggal 1 Januari juga dirayakan oleh orang Persia yang beragama Majūsî. Mereka orang majusi yang menyembah api menjadikan tanggal 1 Januari sebagai hari raya mereka yang dikenal dengan hari Nairuz. Kaum Majūsî meyakini bahwa Tuhan menciptakan cahaya pada tahun baru, sehingga mereka akan merayakan peristiwa yang “Agung” ini
Dalam buku Nihayatul ‘Arob dan al-Muqrizî dalam al-Khuthoth wats Tsar, menjelaskan bahwa kaum Majusi menyalakan api dan mengagungkannya dalam perayaan tahun baru ini. Mereka berkumpul di jalan-jalan, halaman dan pantai, mereka bercampur baur antara lelaki dan wanita, saling mengguyur sesama mereka dengan air dan khomr (minuman keras). Mereka berteriak-teriak dan menari-nari sepanjang malam. Orang-orang yang tidak turut serta merayakan hari Nairuz ini, mereka siram dengan air bercampur kotoran. Semuanya dirayakan dengan kefasikan dan kerusakan.
Bagaimana seharusnya menyikapi perayaan tahun baru Masehi?
Kita telah mengetahui, bahwa sejarah perayaan tahun baru merupakan perayaan dan ritual keagamaan kaum kufar. Sebagai muslim kita harus menghindari dan menjauhi perilaku dan budaya dari kaum kufar. Cukuplah firman Allah SWT menjadi pengingat kita:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya” (QS. Al isra’: 36)
Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669, dari Abu Sa’id Al Khudri)
Jika kita ingin menjadi baik di tahun mendatang, bukanlah dengan merayakannya. Seseorang menjadi baik tentulah dengan banyak bersyukur atas nikmat waktu yang Allah SWT berikan. Bersyukur yang sebenarnya adalah dengan melakukan ketaatan kepada Allah SWT. Pikirkanlah apakah hari ini iman kita sudah semakin meningkat ataukah semakin menurun? Itulah yang harus direnungkan seorang muslim setiap kali bergulirnya waktu.
Semoga setelah mengetahui sejarah perayaan tahun baru masehi, kita bisa menentukan sikap yang tegas dalam menyikapi perayaan tahun baru. Sikap kita bukan atas dasar sekedar ikut-ikutan, tetapi sikap kita adalah yang berdasarkan ilmu pengetahuan.
Komentar
Posting Komentar