Mengenal Ulama Lebih Dekat
Sebenarnya siapakah ulama itu?
“Ulama adalah pewaris Nabi,” begitu jelas Rasulullah dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dan Tirmizi.
Tentunya, kita semua tahu apa dan bagaimana tugas Nabi itu, bukan? Ya, membina dan membimbing umat dari jalan kesesatan menuju jalan kebenaran dengan berlandaskan pada wahyu. Menuntun umat menuju kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat. Mengentaskan umat dari kegelapan dan kehancuran. Menyelamatkan umat dari kebodohan dan kenistaan. Dan yang terpenting, menyampaikan amanat risalah dari Allah SWT. Itulah tugas Nabi.
Jika ulama adalah pewaris Nabi, berarti dialah yang bertugas membimbing dan membina umat sepeninggal Nabi. Jika ulama adalah penerus estafet perjuangan Nabi, maka dialah yang berkewajiban menuntun umat menuju kehidupan yang bahagia sebagaimana dicontohkan Nabi. Dan jika ulama adalah pemangku tugas Nabi, maka dialah yang berhak mengentaskan dan menyelamatkan umat dari kegelapan, kehancuran, kebodohan, dan kenistaan seperti yang dituntunkan Nabi. Jika memang demikian, sungguh berat amanah yang ada di pundaknya, dan sungguh sangat mulia pekerjaan itu. “Ulama adalah pewaris nabi“. Sungguh, hanya orang pilihanlah yang mampu mengambil warisan Nabi itu.
Maka…
Jika keberadaan Nabi di tengah-tengah umat adalah sebuah mahakarunia dari Allah SWT, maka keberadaan ulama pun berarti sebuah karunia yang tak ternilai harganya. Jika keberadaan Nabi mutlak dibutuhkan umat, pun begitu keberadaan ulama tak bisa dipisahkan dari sejarah umat. Jika Nabi adalah manusia agung yang harus ditaati dan dihormati, begitu juga ulama adalah manusia mulia yang harus ditaati dan dihormati sesuai koridor syar’i. Jika pribadi Nabi adalah manusia pilihan yang wajib dicintai dan disayangi, ulama juga manusia pilihan yang berhak untuk dicintai dan disayangi.
Jika kebahagiaan hidup umat manusia itu, baik dunia maupun akhirat, tergantung pada petunjuk Nabi, maka sepeninggalnya pun kebahagian umat manusia juga tergantung pada petunjuk ulama yang menapaktilasi tuntunan Nabi.
Ibnu Jarir ath-Thabari mengungkapkan dalam kitab tafsirnya, Jami’ul Bayan bahwa yang dimaksud dengan ulama adalah seorang yang Allah SWT jadikan sebagai pemimpin atas umat manusia dalam perkara fiqih, ilmu, agama, dan dunia.
Sementara itu, Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqqi’in-nya membatasi bahwa ulama adalah orang yang pakar dalam hukum Islam, yang berhak berfatwa di tengah-tengah manusia, yang menyibukkan diri dengan mempelajari hukum-hukum Islam kemudian menyimpulkannya, dan yang merumuskan kaidah-kaidah halal dan haram.
Ulama adalah seorang pemimpin agama yang dikenal masyarakat luas akan kesungguhan dan kesabarannya dalam menegakkan kebenaran, sebagaimana firman Allah SWT,
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami.” (Q.s. As-Sajdah [32]: 24).
Ia adalah seorang yang menekuni dan mendalami agama kemudian mendakwahkannya kepada umat. Allah Azza wajalla menegaskan,
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tiap-tiap golongan tidak mengutus beberapa orang untuk memperdalam agama lalu memberi peringatan kepada kaumnya, apabila mereka telah kembali; supaya mereka itu dapat menjaga diri.” (Q.s. At-Taubah [9]: 122).
Ia seorang penunjuk jalan bagi umat manusia pada setiap zaman. Ia seperti yang disabdakan baginda Nabi, “Akan selalu ada di umatku ini sekelompok orang yang menegakkan perintah Allah. Tidaklah memberinya madharat siapa saja yang melecehkannya atau menyelisihinya, sampai datang ketetapan dari Allah sedangkan ia dalam keadaan dimenangkan atas yang lain” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Makna Al Jama’ah
Ulama adalah seorang yang diisyaratkan Rasulullah dalam sabdanya, “Hiduplah kalian dalam satu jemaah dan jangan berpecah-belah. Sebab setan itu lebih mudah menjerumuskan satu orang daripada dua orang. Siapa yang ingin tinggal di tengah-tengah surga maka bergabunglah dengan jemaah itu. Siapa yang merasa gembira dengan kebaikan yang dimilikinya dan merasa sedih dengan kejelekan yang ada pada dirinya, itulah sesungguhnya orang mukmin” (H.R. Ahmad dan Tirmizi).
Lalu, jemaah seperti apakah yang dimaksud itu? Para ulama menjelaskan, al-Qurthubi misalnya, bahwa yang dimaksud dengan jemaah itu ada dua macam: pertama, sekumpulan kaum muslimin yang bersatu di bawah komando seorang pemimpin yang terpilih secara syar’i. Kedua, ia adalah ungkapan dari metodologi dan tata cara beragama seseorang. Maksudnya? Yakni siapa pun yang berada di atas petunjuk Nabi Muhammad, para shahabatnya, dan salafus saleh maka berarti ia telah bergabung dengan jemaah.
Al-Ajurri dalam kitabnya, asy-Syari’ah, menjelaskan tentang pentingnya keberadaan jemaah tersebut. Setelah menyitir beberapa ayat dan hadis yang berkenaan dengan itu, ia pun berkomentar, “Tanda bahwa seseorang itu dikehendaki kebaikan oleh Allah adalah ia berada di atas jalan itu. Yakni Al Quran, sunnah, petunjuk para shahabat, petunjuk para tabiin, dan pemimpin kaum muslimin di setiap negeri yang terdiri dari para ulama, seperti: Auza’i, Sufyan ats-Tsauri, Malik bin Anas, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Qasim bin Salam, dan siapa saja yang menempuh jalan mereka. Di samping itu, ia juga meninggalkan setiap petunjuk yang tidak ada tuntunannya dari para ulama itu”.
Karenanya, asy-Syatibi dalam al-I’tishamnya menyebutkan jawaban Ibnul Mubarak ketika ditanyai perihal jemaah yang layak untuk diikuti itu, “Abu Bakar, Umar, (dan seterusnya. Ia menyebut satu persatu nama ulama sampai pada nama Muhammad bin Tsabit). Ketika penanya mencoba menginterupsinya, “Mereka semua sudah meninggal dunia, siapakah kira-kira yang masih hidup?” “Abu Hamzah as-Syukri,” begitu jawabnya.
Begitulah Ibnul Mubarak menjelaskan bahwa jemaah yang wajib diikuti itu adalah para ulama, bukan yang lainnya. Oleh karena itu, paparan singkat di atas menyimpulkan bahwa perintah agar hidup berjemaah yang termaktub dalam hadis di atas itu berarti bahwa mengikuti kesepakatan yang telah dibuat oleh para ulama adalah sebuah kewajiban atas setiap orang muslim. Itulah, kata Ibnu Bathal, seperti yang yang ditulis Ibnu Hajar dalam Fathul Barinya, yang dimaksud Bukhari ketika menjelaskan hakikat jemaah dengan ucapannya, “Yaitu para ulama.”
Saat ini, di zaman ini, masih banyak orang muslim meragukan kredibilitas ulama, melecehkan ulama, membully ulama, mempertanyakan fatwa ulama, menfitnah ulama, dan sebagainya. Padahal ulama adalah seorang yang Allah SWT jadikan sebagai pemimpin atas umat manusia dalam perkara fiqih, ilmu, agama, dan dunia, sepeninggal Nabi.
Fitnah terbesar bagi seorang muslim adalah fitnah yang menimpa agamanya. Semoga Allah SWT selalu melindungi kita dari nadi yang lupa kenapa ia berdenyut, jantung yang lupa kenapa ia berdetak, dan jiwa yang lupa kenapa dia ada di bumi Allah.
اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِي دِينِي الَّذِي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِي وَأَصْلِحْ لِي دُنْيَايَ الَّتِي فِيهَا مَعَاشِي وَأَصْلِحْ لِي آخِرَتِي الَّتِي فِيهَا مَعَادِي وَاجْعَلْ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِي فِي كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلْ الْمَوْتَ رَاحَةً لِي مِنْ كُلِّ شَرٍّ
“Ya Allah, perbaikilah agamaku untukku yang mana ia merupakan penjaga perkaraku. Perbaikilah duniaku yang di dalamnya terdapat kehidupanku. Perbaikilah akhiratku untukku yang di dalamnya terdapat tempat kembaliku. Jadikanlah hidupku sebagai tambahan untukku dalam setiap kebaikan, serta jadikanlah matiku sebagai istirahat untukku dari segala keburukan.” (Riwayat Muslim, 2720)
Komentar
Posting Komentar