Sister
Suara langkah kaki terdengar di ujung lorong kamar lantai dua, Inggrid dan saudarinya bersembunyi di balik selimut. Mereka saling berpeluk erat, tidak ada sesuatu apapun yang dapat memisahkan mereka. tidak juga keadaan malam itu, suara langkah kaki berat dari lorong meneror mereka berdua. “Kak, aku takut.” bisik Anggi dengan mimik ketakutan. Inggrid menggenggam tangan Anggi yang berkeringat, “tenang aja, selama kita gak bersuara dia gak akan tau kita di sini.” jawab Inggrid.
“Gimana kalo dia udah tahu kita di sini?” Anggi menelan ludah.
Inggrid mencengkeram wajah Anggi, matanya tajam menatap saudari kembarnya. “Jangan ngomong gitu, pokoknya dia gak tahu dan kita aman di sini.”
Anggi masih ingin membantah kakaknya, tetapi ia sadar itu tidak akan membantu di dalam situasi yang sedang mereka hadapi.
Suara langkah kaki di luar mulai menjauh, kini hanya sayup-sayup terdengar. “kira-kira Ayah dan Ibu tahu keberadaan orang itu gak, kak?” tanya Anggi lagi. “pasti tahu, dan mungkin sekarang mereka sedang memanggil polisi.” Inggrid menjawab cepat.
di dalam selimut yang rapat mereka masih dapat merasakan udara malam yang dingin, bagi mereka, tidak ada yang lebih menyeramkan dari sendirian tanpa orang tua di tengah malam ketika orang asing mondar-mandir di lorong.
“Gimana kalo orang itu perampok, Kak?” kata Anggi setengah menangis. “Terus dia sudah membunuh Ayah dan Ibu.”
Inggrid menaruh wajah Anggi di dadanya, ia membelai rambut saudarinya. “Jangan berpikir macam-macam, Ayah dan Ibu pasti cepat menyadari kehadiran orang asing di rumah. Sebentar lagi orang itu akan tertangkap.”
Anggi diam, Inggrid melihat ketidakpuasan di wajah adiknya. Percuma baginya untuk menyakinkan Anggi jika sesungguhnya ia pun ketakutan, di dalam hatinya ia pun berdoa agar orangtuanya masih hidup. “Baiklah, kamu tinggal di sini dulu. Kakak akan turun dan melihat keadaan Ayah dan Ibu sekaligus mencari bantuan.”
Anggi menarik tubuh Kakaknya, “jangan, kak. Nanti kalo sesuatu terjadi sama Kakak gimana?”
Inggrid tersenyum, “gak akan terjadi apa-apa sama Kakak, kamu tenang aja. pokoknya tunggu di sini, jangan ke mana-mana dan jangan buka pintu selain untuk Kakak.”
keraguan menyala di mata Anggi, tetapi ia tahu bahwa tidak ada pilihan untuk mereka berdua. menunggu di dalam kamar sampai orang itu datang dan membunuh mereka atau mencoba mencari bantuan. perlahan-lahan Anggi melepaskan Kakaknya, itu adalah satu-satunya hal yang dapat ia lakukan. “Kakak hati-hati, ya. Aku sayang Kakak.” ujar Anggi.
“Kakak juga sayang sama kamu,” balas Inggrid. “Pokoknya kamu harus inget pesan Kakak, jangan bukain pintu kalo itu bukan Kakak. oke?”
Anggi mengangguk pelan, mereka saling berpandangan sebelum tangan Inggrid menyibak selimut yang menutupi mereka berdua. Inggrid beranjak dari tempat tidur, ia mengendap-endap menuju pintu. ia menempelkan telinga di atas pintu, suara langkah kaki itu sudah benar-benar menghilang. berarti keadaan aman untuknya, entah sampai kapan. ia harus bergerak cepat sebelum sosok itu kembali, tangan mungil Inggrid meraih knop pintu dan hati-hati membukanya.
dari pintu yang tidak sepenuhnya terbuka, kepala Inggrid menyembul keluar. matanya menyisir lorong dalam gelap, tidak ada siapa-siapa di sana. sebelum keluar ia menoleh untuk yang terakhir kalinya ke Anggi yang duduk dengan tampang cemas di atas tempat tidur, ia berlari kecil dari pintu kamar hingga menuruni anak tangga. langkahnya terhenti ketika ia mendengar suara langkah kaki tepat di belakangnya, jantungnya berdegup kencang saja nyaris berhenti. sosok itu kini di belakangnya, menghunuskan pisau dan siap menikam Inggrid dari belakang hingga ia mati kehabisan darah.
Inggrid menahan napas dan menoleh dengan satu gerakan cepat, peluh di dahinya sampai terlempar jauh.
napas Inggrid berhenti, ia tercekat.
tidak ada siapa-siapa di belakangnya, tidak ada pembunuh yang menikamnya. otot wajah Inggrid mengendur, pasti suara langkah itu berasal dari kepalanya sendiri. hal yang paling menyebalkan dari berada di rumah yang lengang adalah pikirannya sendiri mulai lihai menipunya, apa saja isi kepalanya terasa nyata.
Inggrid melanjutkan langkahnya hingga ke anak tangga terakhir, masih tidak ada tanda-tanda kehadiran sosok misterius itu. jarak dari tangga menuju kamar orangtuanya hanya sekitar dua puluh langkah, ia harus mengambil dua puluh langkah itu untuk dapat memperingatkan orangtuanya akan marabahaya yang singgah ke rumah mereka.
dua puluh langkah itu adalah kunci kebebasan untuknya dan Anggi, ia mengumpulkan sisa keberaniannya yang berserakan lalu menyusunnya. ancang-ancang diambilnya sebelum berlari ke kamar orangtuanya, Inggrid melesat ke kamar orangtuanya.
“Jangan buka pintunya,” sebuah suara memperingatkan.
Inggrid berhenti dan menoleh, hampir saja ia menjerit karena terkejut. sosok perempuan berdiri tidak jauh dari dirinya, perempuan berwajah muram itu menatapnya dengan mata berkaca-kaca. tunggu dulu, Inggrid mengenal perempuan berwajah sendu itu. namanya Nila, dia gadis yang tinggal di rumah sebelah.
Nila juga bersekolah di sekolah yang sama dengan Inggrid, ia adalah kakak kelas Inggrid.
“apa maksudmu?”
“tolong jangan buka pintu itu, kamu gak boleh melakukan itu.” Nila berkata setengah memohon.
“ada perampok di rumah ini, aku harus memperingatkan orangtuaku. lebih baik kamu membantuku, keluar dan telpon polisi.” suara Inggrid meninggi.
“tidak ada gunanya semua sudah berakhir.” ujar Nila tenang.
Inggrid geram, bagaimana Nila bisa terlihat tenang di dalam keadaan genting seperti itu. ia dan Anggi bisa saja terbunuh jika ia tidak cepat mencari bantuan.
“kamu gak ngerti, semua ini sudah berakhir. tolong jangan buat keadaan bertambah buruk untukmu dan Adikmu.” Nila maju perlahan mencoba meraih Inggrid.
Inggrid tetap bersikeras dengan niatnya, ia mundur selangkah ketika Nila sudah mulai dekat.
“Jangan-jangan langkah kaki itu adalah langkah kaki kamu,” tuding Inggrid.
“Kamu pasti mau melakukan hal buruk sama keluargaku!”
sebelumnya Inggrid memang kerap mendengar tetangganya yang lain menggunjingkan Nila, mereka bilang Nila punya kelainan. Nila adalah anak yang aneh, jangan-jangan ternyata Nila mengidap sakit jiwa dan hendak membunuh ia dan keluarganya.
genggaman tangan Inggrid mengeras, ia menyambar lampu hias yang terpasang di dinding lalu membenturkan lampu itu ke tembok hingga penutup kacanya hancur berantakan. ia mengambil potongan kaca paling besar dari lantai, digenggamnya potongan kaca itu sebagai senjata melawan Nila.
“Kamu pasti sudah membunuh kedua orangtuaku dengan sadis dan kini kamu mengincarku dan Anggi.” Inggrid mengacungkan potongan kaca kepada Nila.
“tolong, aku bisa menjelaskannya.” gumam Nila, langkahnya terhenti.
diam-diam tangan Inggrid membuka knop pintu, dan ia melangkah masuk. sebuah cahaya putih menyilaukan matanya, Inggrid melindungi matanya dengan tangan.
sedikit demi sedikit cahaya itu meredup, Inggrid melepaskan tangannya. tidak ada suara yang terdengar di dalam mulutnya, bibirnya terkunci rapat oleh kengerian.
di atas tempat tidur orangtuanya yang besar terbaring Ayah dan Ibunya, tubuh mereka kaku. mata mereka tertutup layaknya tengah tertidur lelap, piyama yang mereka gunakan tampak rapi. di antara tubuh mereka berdua terbaring dua tubuh lagi, dua orang anak gadis belia berwajah pucat dan kelopak mata tertutup rapat. seperti tertidur.
Inggrid mudur pelan-pelan, napasnya putus-putus. antara hidup dan mati.
darah segar mengalir dari sela-sela jari tangannya, sampai akhirnya potongan kaca itu terlepas dari genggamannya.
ia melewati ambang pintu, di belakangnya Nila berdiri kaku.
Inggrid masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat, namun ketika ia melihat lampu yang ia hancurkan masih utuh di tempatnya, ia sadar semua ini nyata.
“setelah ayahmu meracuni Ibu, adikmu, dan kamu sendiri ia naik ke atas untuk memebereskan barang-barang pribadimu. ia menuliskan sebuah pesan untuk adiknya agar merawat barang-barang milik kalian.”
langkah kaki yang aku dengar adalah langkah kaki ayahku sendiri, dan aku tidak ingat bahwa aku pernah masuk ke dalam kamar untuk tidur. yang aku ingat hanyalah aku dan Anggi mendengar suara langkah kaki itu.
“aku mencoba memperingatkanmu, tetapi kamu tidak mau mendengarkan,”
“apa yang kamu dan adikmu alami sudah cukup menyakitkan, aku tidak ingin kalian lebih tersiksa.” suara Nila mulai parau.
“tetangga sekitar sini sering membicarakanmu karena kemampuanmu yang dapat melihat orang-orang yang sudah mati, kan?”
Nila terseyum masam, “kelebihan yang tak seorang pun inginkan.”
“Dengar, aku datang untuk menolong. akan kuurus jenazahmu dan keluargamu, sekarang kamu pergilah. temani adikmu.”
Inggrid meninggalkan Nila dengan sebuah senyuman yang paling memilukan yang pernah Nila lihat.
tidak terhitung lagi berapa tragedi semacam ini yang Nila saksikan, tidak jarang tragedi itu menghantuinya selama berhari-hari.
Nila memerhatikan Inggrid naik ke lantai dua dengan langkah ringan, setetes air mata terjun bebas dari kelopak matanya.
“Gimana, kak? Ayah dan Ibu baik-baik saja?” Anggi melompat dari atas tempat tidur begitu melihat Inggrid muncul dari balik pintu. Inggrid tidak langsung menjawab, ia melangkah pelan menuju Anggi dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya.
Inggrid duduk di tepi tempat tidur dan memeluk Anggi, tangannya membelai kening Anggi lembut.
“Ayah dan Ibu baik-baik saja, dan perampok di rumah kita sudah ditangkap polisi. sekarang kita aman, kamu gak usah takut lagi.” Inggrid berkata, matanya menatap lurus.
ketakutan Anggi lenyap begitu saja, napasnya kini terasa enteng.
“syukurlah, Kak.”
“aku sayang kakak,” Anggi membenamkan wajahnya ke dalam dada Inggrid.
“Kakak juga sayang sama kamu.” jawab Inggrid, suaranya hampir tak terdengar.
bola mata Inggrid berkaca-kaca ketika melihat sekelilingnya mulai pudar.
Komentar
Posting Komentar