Kisah Uang Seribu dan Seratus Ribu


Kisah Uang Seribu dan Seratus Ribu

Bank Indonesia menerbitkan dua lembar uang, yang satu bernama uang seribu rupiah dan satu lagi uang seratus ribu rupiah. Keduanya tercipta sama-sama dari kertas dengan begitu indah, mulus, berkilau, bersih, harum dan menarik. Setelah itu mereka kemudian berpisah, mengalami pengembaraan yang begitu lama, dan berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya, mengisi satu dompet ke dompet lainnya.

Sebulan kemudian, keduanya kembali dipertemukan secara tidak sengaja didalam dompet seorang lelaki. Terjadilah dialog diantara keduanya..

Uang Seratus Ribu:

"Dari mana saja kamu, teman? Sebulan tak bertemu tapi kok kamu kelihatan begitu lusuh? Kumal, kotor , lecet dan bau! Padahal waktu kita sama-sama keluar dari Bank Indonesia, kita sama-sama bersih kan ….. Ada apa denganmu?"

Uang seribu kemudian memulai kisahnya, sambil mengenang perjalanannya, uang seribu berkata:

"Sejak kita ke luar dari Bank itu, hanya sehari aku berada di dompet yang bersih dan bagus. Hari berikutnya saya sudah pindah ke dompet tukang sayur yang kumal. Dari dompet tukang sayur, aku beralih ke kantong plastik tukang ayam. Plastiknya basah, penuh dengan darah, dan bau amis. Besoknya lagi, aku dilempar ke plastik seorang pengamen, dari pengamen kemudian aku mampir ke warteg. Dari laci tukang warteg aku berpindah ke kantong tukang bubur, dari sana kemudian tak jarang saya masuk ke kantong pengemis. Begitulah penembaraanku dari hari ke hari selama sebulan ini".


Uang seratus ribu mendengarkan dengan prihatin. Kemudian dengan congkaknya berkata:

"Wah, sedih sekali perjalananmu, teman! Berbeda sekali dengan pengalaman yang aku alami. Sejak kita keluar hari itu, aku disimpan di dompet kulit seorang pejabat yang bagus dan harum. Setelah itu aku pindah ke dompet seorang wanita cantik. Setelah dari sana, aku lalu berpindah-pindah, sering aku ada di hotel berbintang lima, masuk ke restoran mewah, ke showroom mobil mewah, di tempat arisan ibu-ibu pejabat, dan di tas selebritis. Bahkan selama sebulan ini aku sudah dua kali masuk dan keluar mesin ATM. Pokoknya aku selalu berada di tempat yang bagus. Jarang sekali aku di tempat yang kamu ceritakan itu. Dan aku juga jarang bertemu dengan teman-temanmu".

Uang seribu terdiam sejenak. Dia menarik nafas lega, dan berkata:

"Nasib kita memang berbeda. Kamu selalu berada di tempat yang nyaman. Tapi ada satu hal yang selalu membuat saya senang dan bangga daripada kamu!"

"Apa itu?" uang seratus ribu penasaran mendengarnya.

Uang seribu bercerita lagi:

"Aku sering bertemu teman-temanku di kotak-kotak amal di masjid atau di tempat-tempat ibadah lainnya. Hampir setiap minggu aku mampir ditempat-tempat itu. Dan satu hal yang pasti, aku jarang bertemu teman-teman kamu disana. Karena itu aku selalu bersyukur, aku dipandang manusia bukan sebuah nilai, tapi yang mereka pandang adalah sebuah manfaat".

Mendengar pernyataan seperti itu uang seratus ribu kemudian terhenyak, tersungkur, dan menangis. Betapa selama ini, dia begitu bangga dan mengagungkan perjalannya yang begitu mewah.Nnamun apa yang dia dapatkan? Tidak ada. Begitu seringnya dia mampir ke tempat maksiat namun jarang hadir ditempat ibadah, bahkan tidak jarang dia dimiliki karena pembayaran untuk transaksi yang membawa bencana.

Dari cerita diatas, kita bisa mengambil hikmah. Bukan seberapa besar penghasilan kita, tapi seberapa bermanfaat penghasilan kita itu. Karena kekayaan bukanlah untuk kesombongan. Kekayaan adalah tujuan kesejahteraan dan berkah untuk berbagi. Apapun yang kita miliki adalah kepunyaan-Nya.

Ingatlah, bahwa hidup adalah penantian atas roda yang berputar. Ada saat kita berada diatas, ada waktunya kita berpindah kebawah. Hidup hanya menunggu giliran. Maka pergunakanlah setiap kesempatan yang datang tanpa keraguan untuk melakukan sebanyak mungkin kebaikan.

Komentar