Mencintai Sampai Ajal Menjemput


Mencintai Sampai Ajal Menjemput

Saya menemukan foto tersebut di instagram. Mata saya takjub dan hati saya bergetar baper karenanya. Sungguh ini pemandangan indah yang nyata. Pandangan saya untuk beberapa saat terpaku di sana. Saya terus memandanginya. Sebuah pemahaman batin terpercik menyala dalam alam renungan.

Kakek nenek ini, saya yakin untuk sampai pada fragmen menggetarkan yang sempat terekam kamera ini, tentu telah melewati perjalanan kehidupan pernikahan yang panjang dan tidak datar-datar saja. Saya yakin, samudera rumah tangga yang telah mereka arungi bukanlah samudera yang tenang dan tanpa disertai ombak yang bahkan membadai. Saya yakin, kehidupan bersama mereka setelah akad nikah, bukanlah pernikahan yang sama sekali tidak pernah ada tercecer bahkan tumpah ruah airmata di dalamnya. Saya yakin, mereka telah mengalami turbulansi kehidupan yang tidak mudah, mereka telah melalui rute pendakian hidup yang terjal dan berbahaya. Saya yakin, mereka telah pernah (barangkali) hampir sekarat melalui ujian demi ujian dalam kehidupan pernikahan mereka.

Ujian yang wajahnya macam-macam. Bisa jadi dalam bentuk karakter yang bertolak belakang, finansial yang tersendat-sendat, polah anak-anak yang beragam, tetangga yang tidak selalu memberi rasa aman, ruwetnya masalah keluarga besar yang silih berganti, bahkan bisa jadi juga tentang indahnya "rasa" di masa lalu, atau ujian dalam wujud karir yang meningkat, penghasilan yang semakin besar, finansial yang semakin mapan lalu salah seorang dari keduanya (atau mungkin kedua-duanya) pernah tergelincir tersilapkan oleh gemerlap semu dunia. Mereka telah melalui perjuangan panjang untuk melewati semua itu.

Maka lihatlah, kini mereka duduk disana. Mereka cuma duduk. Sang suami penuh sayang merangkul istrinya, penuh perhatian sekaligus tanggung jawab untuk memastikan bahwa istrinya baik-baik saja, serta penghargaan yang besar karena telah menemaninya melewati perjalanan hidup yang sulit dan panjang. Adapun sang istri, terlihat begitu nyaman dan memercayai, meskipun kini mereka telah renta. Maka tetaplah, setelah (barangkali) setengah dari umurnya, tempat paling menenangkan untuk bersandar itu adalah di dada suaminya. Seperti tahun-tahun yang telah berlalu, sedahsyat apapun badai ujian itu, percaya bahwa suaminya adalah sebaik-baik nakhoda.

Mereka disana. Cuma duduk. Duduk diantara manusia bahkan pasangan lain di sekitarnya. Tetapi, rasanya mata ini tidak sekedar memandang lahiriah, tetapi juga tersedot oleh kumparan makna. Mereka yang "cuma duduk" itu telah memberikan pengajaran, bahkan sebaik-baik pengajaran. Bahwasanya pernikahan yang baik itu seperti dunia arkeolog. Semakin lama, semakin menua umur pernikahan, maka ia akan semakin disayang penuh penghargaan. Karena sejatinya dalam usia pernikahan yang panjang, ada banyak kisah heroik perjuangan dan kepahlawanan. Ada prasasti tanggung jawab dan pengorbanan. Itulah cinta yang halal, mengejawantah, menumbuhkan sekaligus membuat kokoh.

Melihat foto ini pula, melihat cara mereka duduk bersama, plus tanda sebagai bagian dari jamaah haji/umrah tergantung di dada mereka, baper saya berlipat-lipat. Bahkan smpai ke tingkat menitikkan airmata. Sembari berharap seharap-harapnya, kemudian berbisik, "Suamiku... (entah siapa) semoga Rabb kita berkenan mengundang kita menjadi tamu-Nya suatu saat nanti. Seperti sepasang suami istri renta, namun menggetarkan hati ini"

Semoga kalian terus bersama hingga ke surga....

Komentar