Kamu dan Puisi


Kamu dan Puisi

Mencintainya bagai menulis puisi.
Ketika ku rajut satu demi satu kata menjadi kesatuan puisi yang utuh,
hatiku bahagia.
Seolah mampu menggenggam langit walau gelap enggan beranjak,
seolah mampu menyelami samudera walau ombak sedang gusar,
seolah mampu mencium rembulan walau purnama belum tiba.
Terlebih ketika aku menuliskan dirinya dalam puisiku,
kata-kata itu menjadi hidup,
menari di hadapanku, dan di atas jemariku.

Seperti itulah diriku mencintainya.
Ketika ku pupuk setiap mili rasa sayang dan kasihku padanya,
hatiku bahagia.
Seolah mampu menghadapi kerasnya dunia hanya dengan menggenggam tangannya,
seolah mampu menatap masa depan bersamanya,
seolah hatinya akan mampu membahagiakanku sebesar aku membahagiakannya.

Aku mencintainya dengan tulusku.
Namun aku lupa...
Aku hanya bisa mencintainya dalam diam,
karena kami kini telah berpisah.
Hanya Allah yang tahu saat aku menangis dan tertawa karenanya.

Aku kehilangan akal, mencintai tanpa memahami hakikat sebuah cinta.
Aku dengan bodohnya menyerahkan hatiku mengikuti permainan ini.
Permainan cinta yang ternyata lebih kejam dari sekedar memainkan kata-kata.
Aku tidak melihat kenyataan bahwa dirinya tidak merasa hal yang sama.

Dia adalah pelajaran besar bagi sebuah hati, yang semoga perlahan menguatkan pertahanan.
Seharusnya hati tidak tunduk kepada seseorang sepasrah ini.
Seharusnya aku tidak mencintai seseorang sekeras ini.
Aku harusnya libatkan logika, bahwa mimpi tidak selalu berujung kenyataan.
Jika dia bukan jodohku, maka aku tidak perlu berjuang sehebat ini untuk memelihara sebuah cinta.

Ah....
Biarkan kata-kata dalam puisi menari indah,
mengikuti perasaan dan gerak jemari yang membawanya.
Biarkan cinta mengalir hangat dalam hati,
mengikuti perasaan dan logika yang membawanya.

Komentar